BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan paradigma
studi ilmu administrasi negara sangat cepat dan mengikuti perubahan
lingkungan yang mempengaruhinya. Seperti studi yang sistematis yang
dilakukan oleh Nicholas Henry (1995) yang mengelompokkan paradigma
administrasi negara atas; (a) dikhotami politik administrasi, (b)
paradigma prinsip-prinsip administrasi negara, (c) paradigma
administrasi negara sebagai ilmu politik, (d) paradigma administrasi
negara sebagai ilmu administrasi, dan (e) paradigma administrasi negara
sebagai ilmu administrasi negara sampai pada tahun 1970. Setelah tahun
1970, paradigma administrasi negara berkembang menjadi paradigma
administrasi pembangunan (J.B Kritiadi:1997). Dalam paradigma ini peran
pemerintah dalam pembangunan negara-negara berkembang sangatlah besar.
Oleh karena itu menurut Abdullah (1984) peran administrasi pembangunan
dalam proses pembangunan adalah sebagai ”Agen of Change”. Hal ini
berarti proses perencanaan, perumusan kebijaksanaan, implementasi dan
pengendalian pelaksanaan pembangunan semuanya dilakukan oleh pemerintah.
Studi
yang dilakukan oleh David Osborne dan Gaebler (1992) menggugat tesis
tersebut, bahwa pemerintah tidaklah cukup mampu untuk melakukan sendiri
kegiatan sektor publik; pemerintah tidak memiliki cukup biaya untuk
membiayai kegiatan sektor publik. Oleh karena itu keterlibatan unsur
swasta, masyarakat dan kelembagaan masyarakat lainya dalam
menyelenggarakan sektor publik merupakan pilihan tepat untuk menciptakan
efisiensi, efektifitas, pemberdayaan masyarakat itu sendiri. Dari
sinilah peran pemerintah dalam menyelenggarakan kegiatan sektor publik
berubah, dimana tidak hanya pemerintah yang terlibat dalam proses
pembangunan, tetapi pihak swasta, kelembagaan masyarakat dan LSM
merupakan tiga pilar utama yang harus berperan aktif dalam melakukan
proses pembangunan.
Salah satu fungsi pemerintah yang utama
adalah menyelenggarakan pelayanan umum sebagai wujud dari tugas umum
pemerintahan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Birokrasi
merupakan instrumen pemerintah untuk mewujudkan pelayanan publik yang
efisien, efektif, berkeadilan, transparan dan akuntabel. Hal ini berarti
bahwa untuk mampu melaksanakan fungsi pemerintah dengan baik maka
organisasi birokrasi harus profesional, tanggap, aspiratif terhadap
berbagai tuntutan masyarakat yang dilayani. Seiring dengan hal tersebut
pembinaan aparatur negara dilakukan secara terus menerus, agar dapat
menjadi alat yang efisien dan efektif, bersih dan berwibawa, sehingga
mampu menjalankan tugas-tugas umum pemerintah maupun untuk menggerakkan
pembangunan secara lancar dengan dilandasi semangat dan sikap pengabdian
terhadap masyarakat.
Seiring dengan hal tersebut Abdullah (1984)
mengatakan bahwa determinan penting untuk meningkatkan kinerja
birokrasi pemerintah adalah dibutuhkan ”Infra-Struktur Admnistrasi” yang
memiliki kesiapan dan ketangguhan pada semua tingkatan dan tahapan yang
meliputi : (a) organisasi pelaksana yang berintikan birokrasi yang
mantap dan tangguh; (b) sistem administrasi atau tata laksana yang
efektif dan efisien; dan (c) susunan aparatur atau personalia yang
berkemampuan tinggi dari segi profesional, orientasional yang disertai
rasas dedikasi yang tinggi. Hal ini berarti bahwa kinerja birokrasi
pemerintah dalam merencanakan, mengimplementasikan dan evaluasi serta
pengendalian proses pembangunan dan pelayanan masyarakat sangat
ditentukan oleh faktor kelembagaan, ketatalaksanaan, sumber daya
manusia, aparatur dan dukungan sarana dan prasarana yang tersedia.
Sorotan
tajam tentang kinerja birokrasi dalam menyelenggarakan pelayanan publik
menjadi wacana yang aktual dalam studi administrasi negara akhir-akhir
ini. Hal ini disebabkan oleh rendahnya kinerja birokrasi dalam
memberikan pelayanan dan pada sisi lain munculnya konsep privatisasi,
swastanisasi, kontak kerja yang pada intinya ingin meminimalkan campur
tangan pemerintah yang terlalu besar dalam pelayanan publik (Savas,
1983, Osborne, 1992).
Studi yang dilakukan oleh Savas (1983), LAN
Jawa Barat (1999) menunjukkan bahwa kinerja birokrasi dalam
menyelenggarakan pelayanan publik lebih rendah ketimbang yang dilakukan
oleh pihak swasta atau kelembagaan masyarakat lainnya. Bahkan Savas
mengatakan bahwa tugas pemerintah adalah mengarahkan bukan mengayuh
perahu. Memberikan pelayanan adalah mengayuh dan pemerintah tidaklah
pandai mengayuh.
Di kalangan masyarakat masih terdapat keluhan
berbagai pelayanan pemerintah (birokrasi) bahkan pameo masyarakat
mengatakan bahwa kalau bisa dipersulit mengapa harus dipermudah dan bila
ada pilihan lain untuk mendapat KTP selain dari Kantor Kelurahan dan
Kantor Kecamatan, maka saya akan memilih ke Supermaket karena disana
pegawainya ramah, suka senyum, menanyakan apa yang dapat dibantu.
Sebaliknya kalau anggota warga masyarakat ke kantor Kelurahan atau
Kecamatan sangat paradoksal dengan apa yang terjadi di Supermaket untuk
mendapat pelayanan (Zanapiha, 1999).
Selama ini seperti yang diakui
oleh Moestopadidjaja (1997) bahwa pelayanan publik oleh birokrasi
cenderung dipersulit, prosedur berbelit-belit, rendahnya ketidakpastian
waktu pelayanan. Gejala ini oleh Bryant dan White (1987) sebagai
suatu gejala ketidak mampuan administratif, umumnya terjadi di
Negara-negara sedang berkembang.
Penilaian kinerja birokrat
pemerintah selama ini cenderung didasarkan pada faktor-faktor input
seperti jumlah pegawai, anggaran, peraturan perundangan dan termasuk
pedoman dan petunjuk teknis pelaksanaan; dan bukan pada faktor-faktor
output atau outcomes-nya, misalnya tingkat efisiensi biaya, kualitas
layanan, jangkauan dan manfaat pelayanan yang dirasakan oleh masyarakat.
Oleh karena itu dalam praktek penyelenggaraan pelayanan publik masih
terdapat berbagai masalah antara lain perbedaan antara kinerja yang
diharapkan (intended perfomance) dengan praktek sehari-hari (actual
perfomance), perbedaan antara tuntutan kebutuhan masyarakat dengan
kemampuan pelayanan aparatur pemerintah, perbedaan antara keterbatasan
sumber daya anggaran pemerintah dengan kebocoran pada tingkat
pelaksanaanya (LAN Jawa Barat, (1999). Studi lainnya dilakukan oleh
Hardjo Soekarto (1999) menunjukkan bahwa pelayanan publik selama ini
masih menunjukkan mental model birokrat sebagai yang di layani oleh
masyarakat, bukan justru sebaliknya aparat yang harus melayani
masyarakat. Hal ini terjadi karena pendekatan kekuasaan birokrasi lebih
dominan ketimbang keberadaan aparatur sebagai pelayan masyarakat.
Kekuasaan birokrat sangat kuat sekali dan bahkan tak ada organisasi
sosial kemasyarakatan yang mampu mengontrolnya sehingga praktek
penyelenggaraan pelayanan publik selama ini yang menjadi beban
masyarakat dan birokrat cenderunng melakukan praktek Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme (Mohammad, 1999).
Sementara itu peran aparatur negara
(birokrasi) sejak beberapa dekade yang lalu lebih disiarkan sebagai
penyandang dua peran yaitu sebagai Abdi Negara dan sebagai Abdi
masyarakat dan peran sebagai abdi negara menjadi sangat dominan
ketimbang peran sebagai abdi masyarakat. Siklus pelayanan lebih berakses
ke kekuasaan birokrasi ketimbang melayani masyarakat. Akibatnya
aparatur cenderung melayani dirinya sendiri dan meminta layanan dari
masyarakat (Thoha, 1993, Idrus, 1995). Berkaitan dengan hal ini Kaufman
(1976) mengatakan bahwa tugas aparatur sebagai pelayan harus lebih
diutamakan terutama yang berkaitan dengan mendahulukan kepentingan umum,
mempermudah urusan masyarakat, mempersingkat waktu proses pelaksanaan
urusan publik dan memberikan kepuasan publik.
Berdasarkan studi
yang dilakukan LAN Sulsel (1997) menunjukkan bahwa pelayanan aparat
birokrat terhadap masyarakat/ dunia usaha masih menimbulkan ekonomi
biaya tinggi (high cost economy). Hal ini dapat dilihat dari terdapatnya
4.396 jenis pungutan yang dilakukan aparatur mulai dari tingkat pusat
sampai tingkat daerah. Dari jumlah pungutan tersebut, sekitar 27% dari
total biaya produksi dialokasikan untuk memperoleh pelayanan aparatur.
Hal ini menunjukkan birokrat menjadi penghambat bagi tumbuhnya daya
asing masyarakat itu sendiri.
Tjokroamidjojo (1988) mengidentifikasi
ada empat faktor besar yang menghambat efisiensi administrasi negara
(birokrasi), yaitu : (1) kecenderungan membengkaknya birokrasi baik
dalam arti struktur maupun luasnya campur tangan terhadap kehidupan
masyarakat, (2) lemahnya kemampuan manajemen pembangunan baik dalam
perencanaan, pelaksanaan, koordinasi, dan pengawasan, dan (3) rendahnya
produktivitas pegawai negeri. Sementara Siagian (1987),
mengidentifikasikan ada tiga jenis kelemahan yang melekat pada pegawai
negeri (birokrat) kita, adalah (1) kemampuan manajerial, yaitu kurangnya
kemampuan memimpin, menggerakkan bawahan, melakukan koordinasi dan
mengambila keputusan, (2) kemampuan teknis, yaitu kurangnya kemampuan
untuk secara terampil melakukan tugas-tugas, baik yang bersifat rutin,
maupun yang bersifat pembangunan, dan (3) kemampuan teknologis, yaitu
kurangnya kemampuan untuk memanfaatkan hasil-hasil penemuan teknologi
dalam pelaksanaan tugas.
Penelitian LAN Perwakilan Sulawesi Selatan
(2000) tentang tingkat kemampuan tenaga perencana Pembangunan di Kawasan
Timur Indonesia menunjukkan bahwa kemampuan tenaga perencana
pembangunan masih rendah. Hal ini disebabkan karena kurangnya iklim
organisasi yang mendukung berkembangnya kemampuan pegawai, tak ada
kebijakan tentang jabatan fungsional perencana dan rendahnya penghargaan
pemerintah terhadap jabatan tersebut sehingga motivasi tenaga perencana
untuk mengembangkan diri masih rendah. Studi lain adalah yang dilakukan
oleh Universitas Gadjah Mada di Kalimantan Timur menunjukkan bahwa
profesionalisme pegawai rendah, baik dilihat dari tingkat pendidika,
pengalaman, produktivitas kerja, ataupun disiplin kerja terbukti rendah
(PPK-UGM, 1991/1992:2). Penelitian yang sama oleh FISIPOL-UGM pada
kantor Bappeda di Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta dan Lombok
menemukan bahwa penampilan Bappeda sangat dipengaruhi oleh para
aparatnya dalam menjalankan fungsi-fungsi perencanaan, koordinasi,
monitoring dan evaluasi; juga oleh tingkat profesionalisme pegawai,
organisasi dan mutu kepemimpinan dalam lembaganya (FISIPOL-UGM, 1991:4).
Studi
empiris lain yang berkaitan dengan kinerja organisasi pemerintah
dilihat dari pendekatan proses misalnya penelitian yang dilakukan oleh
Baddu (1994), suatu analisis tentang prestasi kerja dan hubungannya
dengan kepuasaan dan semangat kerja pada Kantor Setwilda Tk. I Sul-Sel,
penelitian yang dilakukan oleh Thahir, M.M. (1997), suatu analisis
tentang faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kepuasan kerja pegawai
pada kantor Kopertis Wilayah IX Ujung Pandang.
Beberapa
penelitian empiris di atas baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun
yang dilakukan oleh kalangan akademik menunjukkan bahwa penelitian
tentang kinerja birokrasi pemerintah dilihat dari sudut pendekatan
proses masih bersifat parsial, yaitu hanya berkaitan dengan analisis
pada tingkat individu pegawai, tetapi belum melihat secara komprehensif
dari sudut kinerja birokrasi pemerintah secara keseluruhan.
Semua ini
menunjukkan bahwa kerja birokrasi dalam menyelenggarakan pelayanan
publik masih memerlukan kajian yang mendalam dan sungguh-sungguh
sehingga peran birokrasi sebagai instrumen masyarakat untuk meningkatkan
kesejahteraan dapat diwujudkan.
Kasus pelayanan pendidikan yang
dilakukan oleh pemerintah kabupaten khususnya di Kabupaten Bone menarik
dikaji terutama yang berkaitan dengan perumusan kebijakan, implementasi,
pengendalian dan evaluasi melibatkan birokrat daerah (lokal). Disamping
itu pula pelayanan pendidikan ini menyentuh kebutuhan seluruh
masyarakat.
Penelitian ini diarahkan untuk mengevaluasi dan
menjelaskan fenomena kinerja birokrasi pemerintah kasus pada Dinas
Pendidikan Kabupaten Bone dengan menggunakan pendekatan proses (internal
process approach), terutama memahami dan menjelaskan fenomena dalam hal
efisiensi pelayanan, kerja, kerjasama tim, dan hubungan pimpinan dengan
bawahan. Variabel kinerja ini penting diteliti karena didasarkan atas
alasan bahwa kinerja output yang diberikan kepada lingkungan akan sangat
tergantung pada tinggi rendahnya kinerja proses. Hal ini berarti
organisasi birokrasi pemerintah tak dapat meningkat
kebertanggungjawabannya (accountability), kepercayaan, menciptakan
keadilan, efektivitas eksternal dan kepuasan masyarakat sebagai
indikator kinerja eksternalnya tanpa memiliki kinerja internal yang
baik.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana kinerja birokrasi
pemerintah khususnya berkaitan dengan efesiensi organisasi, kerjasama
tim, dan hubungan pimpinan dengan bawahan pada Dinas Pendidikan di
Kabupaten Bone ?
2. Faktor apa yang mendukung dan menghambat kinerja
birokrasi pemerintah khususnya berkaitan dengan efesiensi pelayanan,
kerjasama tim, dan hubungan pimpinan dengan bawahan pada Dinas
Pendidikan Kabupaten Bone ?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk
mengetahui kinerja birokrasi pemerintahan khususnya berkaitan dengan
efesiensi organisasi, kerjasama tim, dan hubungan pimpinan dengan
bawahan pada Dinas Pendidikan di Kabupaten Bone
2. Untuk mengetahuai
faktor yang mendukung dan menghambat kinerja birokrasi pemerintah
khususnya berkaitan dengan efesiensi pelayanan, kerjasama tim, dan
hubungan pimpinan dengan bawahan kasus pada Dinas Pendidikan Kabupaten
Bone
D. Manfaat Penelitian
1. Secara akademik; sebagai bahan
informasi bagi peneliti lain yang mengkaji kinerja birokrasi pemerintah
pada masa yang akan datang .
2. Secara metodologi; penelitian ini
memperkaya indikator pengukuran tentang kinerja birokrasi pemerintah
khususnya dilihat dalam sudut pandang pendekatan proses.
3. Secara
praktis; penelitian ini dapat menjadi bahan untuk evaluasi kinerja
instansi Pemerintah khususnya Dinas Pendidikan Kabupaten Bone dalam
menyempurnakan dan meningkatkan kualitas pelayanan publik pada masa
datang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar